Saturday, May 28, 2011

Taqlid dan Tingkatannya

Semua orang Islam sudah harus melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah, meskipun belum mampu berijtihad. Karena itu ada dua alternatif dalam mengetahui dan memahami perintah dan larangan Allah:

1.Berijtihad sendiri, yang dapat dilakukan oleh mereka yang memenuhi persyaratan. Jumlah mereka sangat sedikit.

2. Menerima dan mengikuti hasil ijtihad atau madzhab orang lain, yang dapat dilakukan oleh semua orang. Kenyataan juga menunjukkan bahwa hampir semua orang Islam melakukannya, setidak-tidaknya pada waktu permulaan yang cukup panjang, bahkan seumur hidup karena tidak pernah mencapai kemampuan untuk berijtihad sendiri.

Mungkin ada orang yang merasa mampu berijtihad sendiri. Tetapi kalau diteliti, seringkali baru mencapai taraf ‘merasa’ mampu, namun belum benar-benar mampu. Oleh karena itu ahlus sunnah wal jamaah mengambil haluan bermadzhab bagi kebanyakan kaum muslimin, yang dapat dilakukan oleh semua orang.
Bermadzhab sering disebut dengan bertaklid. Pengertian taklid hendaknya jangan digambarkan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, taklid buta, atau membuta tuli tanpa ada kesempatan menggunakan akal pikiran, tanpa boleh mempelajari dalil al-Quran dan al-Hadits. Pada taraf permulaan memang demikian. Setiap pelajaran yang diberikan oleh ulama, kiyai, serta guru hendaknya diterima dan diikuti. Selanjutnya setiap muslim didorong dan dianjurkan untuk mempelajari dalil dan dasar pelajaran tersebut dari al-Quran dan al-Hadits.

Bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh saja, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi’i. Jadi, ada tingkatan bermadzhab atau bertaqlid. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri.

Ada alternatif lain yang disebut ittiba’, yaitu mengikuti hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya. Beberapa hal yang dapat dikemukakan tentang ittiba’ antara lain:

a. Usaha untuk menjadikan setiap muslim dapat melakukan ittiba’ adalah sangat baik, wajib didorong dan dibantu sekuat tenaga. Namun mewajibkan ittiba’ atas setiap muslim dengan pengertian bahwa setiap muslim harus mengerti dan mengetahui dalil atau argumentasi semua hal yang diikuti kiranya tidak akan tercapai. Kalau sudah diwajibkan, maka yang tidak dapat melakukannya dianggap berdosa. Jika demikian, berapa banyak orang yang dianggap berdosa karena tidak mampu melakukan ittiba’?

b. Sebenarnya ittiba’ adalah salah satu tingkat bermadzhab atau taklid yang lebih tinggi sedikit. Dengan demikian hanya terjadi perbedaan istilah, bahwa ittiba’ tidak diwajibkan, melainkan sekedar anjuran dan didorong sekuat tenaga.

Kalau kita hayati kenyatannya, perbedaan faham mengenai masalah ijtihad dan taklid atau bermadzhab lebih banyak bersifat teoritis saja, sedangkan dalam praktek tidak banyak berbeda. Pihak yang menamakan diri golongan bermadzhab sesungguhnya ingin juga mampu berijtihad. Namun ketahudirian dan melihat kenyataan kemampuan yang dimiliki, ditempuhlah jalan yang lebih selamat dari kekeliruan di bidang agama yang membawa konsekuensi ukhrawi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan berdasar al-Quran dan al-Hadits. Jalan tersebut adalah sistem bermadzhab. (Ponpes Nurul Huda)

TINGKATAN TAQLID
Sebenarnya mujtahid Muntasib, Mujtahid fil Madzahib, dan Mujtahid Murajjih itu juga bisa dikatakan orang yang taqlid. Sebab, walau pun mereka berijtihad, tetapi mereka menggabungkan diri dalam salah satu madzhab. Namun demikian, mereka tetaplah disebut sebagai mujtahid karena memang melakukan istinbath. Namun istinbath yang mereka lakukan tidak keluar dari ushul yang dikonsep imam mereka, bahkan tidak keluar dari pendapat ulama sebelumnya dari madzhabnya, dan bahkan ada yang hanya mencari mana pendapat ulama sebelumnya dalam madzhabnya yang dalil-dalilnya lebih kuat. Namun tingkat keilmuan mereka dan methode yang mereka gunakan telah mencapai syarat mujtahid pada tingkatan-tingakatan tersebut.

Sedangkan di bawah Mujtahid Murajjih terdapat juga tingkatan taqlid yang tidak sampai kepada tingkat mujtahid.

1. Muwazzin.
Muwazzin adalah ulama yang sanggup membanding-bandingkan antara beberapa pendapat dan riwayat. Misalnya mereka menetapkan bahwa qiyas yang dipakai dalam pendapat ini lebih mengena dibanding penggunaan qiyas pada pendapat yang lain. Atau pendapat ini lebih shahih riwayatnya atau lebih kuat dalilnya. Jadi hampir mirip dengan Mujtahid Murajjih, namun lebih rendah dari Mujtahid Murajjih.

2. Muhafizh.
Muhafizh adalah ulama yang bertaqlid atau bermadzhab namun mempunyai hujjah dengan mengetahui hasil tarjih ulama terdahulu. Mereka mampu membedakan antara pendapat yang terkuat, yang kuat, yang dha’if, riwayat yang zhahir, madzhab yang zhahir, riwayat yang nadir (langka). Diantara muhafizh adalah seperti para pengarang kitab-kitab matan yang mu’tabar seperti kitab al-Kanz, ad-Durrul Mukhtar, al-Wiqoyah dan al-Majma’. Mereka tidak menukil di dalam kitab-kitabnya pendapat-pendapat yang ditolak (mardudah) dan riwayat-riwayat yang lemah (dha’if).

3. Muqollid.
Mereka adalah ulama yang mampu memahami kitab-kitab, tetapi tidak mampu melakukan tarjih terhadap beberapa pendapat atau riwayat. Tingkat keilmuannya belum cukup mendukung untuk dapat mentarjih. Mereka menerima ibarat yang terdapat dalam kitab-kitab sebagaimana adanya dan tidak mampu mengklasifikasi dalil-dalil, pendapat-pendapat maupun riwayat-riwayat.

Dan yang terendah dari tingkatan taqlid adalah taqlid muthlaq seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, dimana dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat imam mujtahid dalam madzhabnya, baik dengan mengetahui dalilnya atau bahkan tanpa mengetahui dalilnya karena kemampuannya yang sangat-sangat terbatas sekali.

Dengan adanya methode tertentu yang digunakan oleh Mujtahid Muthlaq yang biasa kita sebut Imam Madzhab, maka seseorang dari madzhab A tidak bisa seenaknya mengambil pendapat dari madzhab B, yang berbeda, untuk dia pegang dan diamalkan. Karena pengambilan pendapat atau methode ijtihad madzhab B jelas memeiliki beberapa perbedaan dengan methode yang digunakan dalam madzhab A.
Memang benar dalam satu madzhab terkadang ada dua atau lebih pendapat. Dan disitulah tugas mujtahid dalam madzhab tersebut untuk menjelaskannya. Memang bisa saja terjadi pendapat madzhab A ada pendapat 1 dan 2, begitu pula pendapat madzhab B ada pendapat 1 dan pendapat 2. Kebetulan pendapat A1 sama dengan pendapat B2. Maka ketika orang dari madzhab A mengambil pendapat A1, hal ini tidak bisa dikatakan sebagai pindah madzhab atau pun pencampuran madzhab. Karena orang itu memang tidak sedang mengamalkan B2, tetapi sedang mengamalkan A1. Walau pendapatnya sama, namun mungkin dalil dan methode yang digunakan untuk istinbathnya berbeda. Jadi, tidak ada dikenal dalam ilmu ushul fiqh bahwa seseorang itu boleh memegang 2 madzhab atau lebih dalam waktu bersamaan. Dan ijtihad tidak dapat dilakukan oleh orang yang hanya baru ‘merasa mampu berijtihad’. Ijtihad hanya dilakukan oleh orang-orang yang telah memenuhi syarat-syarat mujtahid. Wallahu a’lam.

Sumber : http://artikelislami.wordpress.com/2008/07/05/taqlid-dan-tingkatannya-2/

Ijtihad dan Mujtahid

Terkadang ijtihad disalah-pahami oleh sebagian kaum muda. Ketika mereka memilih satu pendapat dari dua pendapat atau lebih, dengan mudahnya dia berkata bahwa itu adalah ijtihad. Pada taraf tertentu pandangan keliru ini membuat mereka alergi kepada taklid, yang juga dipandang secara keliru. Kekeliruan-keliruan semacam ini mungkin disebabkan mereka hanya melihat dari sisi bahasa atau lughoh semata.

PENGERTIAN IJTIHAD
Secara bahasa, ijtihad berarti bersungguh-sungguh, bersusah-payah, menggunakan segenap kemampuan. Maka sebagian kaum muda beranggapan bahwa jika mereka bersusah-payah menggali hukum syar’iyyah dengan segenap ilmunya yang sangat minim dan segenap kemampuan aqalnya yang sangat dangkal, itu adalah ijtihad.

Namun, di kalangan ulama, ijtihad ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (fuqoha) untuk mengetahui hukum syari’at. Adapun Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang Mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syari’at. Dalam definisi lain dikatakan bahwa ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunnah Rasul.

MUJTAHID
Ijtihad dilakukan oleh mujtahid untuk mengeluarkan hukum berdasarkan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Karena mujtahid ini mengeluarkan hukum, maka ia disebut pula sebagai hakim sebagaimana tercantum dalam hadits dimana Rasul bersabda:
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan jalan ijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Namun bila ia menetapkan hukum dengan jalan ijtihad, kemudian ia keliru, maka ia mendapatkan satu pahala.”

Pahala itu berlaku bagi Mujtahid. Namun bagi orang yang bukan mujtahid, jika benar maka tidak mendapat apa-apa, jika salah maka mendapat dosa. Lalu siapa Mujtahid itu?

SYARAT MUJTAHID
Tidak semua orang dapat berijtihad begitu saja dan mengeluarkan fatwa. Untuk mencapai derajat Mujtahid, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Diantara syarat-syarat mujtahid itu adalah:
1. Menguasai bahasa Arab. Mujtahid haruslah mampu memahami ucapan orang Arab dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan mereka. Sehingga ia dapat membedakan antara ucapan yang sharih, zhahir, mujmal, haqiqat, majaz, umum, khusus, muhkam, mutasyabih, muthlaq, muqoyyad, nash, serta mudah atau tidaknya dalam pemahaman.
2. Mengetahui Nasakh dan Mansukh dalam Al-Qur’an serta Asbabun Nuzul, dan seluk beluk ayat-ayat hukum.
3. Mengerti Sunnah (Hadits) serta Asbabul Wurud. Mujtahid haruslah mengerti seluk beluk hadits dan perawinya secara umum.
4. Mengerti ijma’ dan ikhtilaf. Mujtahid haruslah mengetahui ijma’ para ulama dan dasar-dasarnya. Dan mujtahid juga harus mengetahui hal-hal ikhtilaf beserta seluk-beluknya.
5. Mengetahui Qiyas. Mujtahid haruslah mengetahui jalan-jalan qiyas yang benar. Bahkan boleh dikatakan bahwa ijtihad itu adalah Qiyas itu sendiri.
6. Mengetahui maksud-maksud hukum.
7. Telah baligh serta mempunyai pemahaman dan penalaran yang benar.
8. Mempunyai Aqidah dan niat yang benar.

TINGKATAN MUJTAHID
1. Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil.
Mujtahid Mustaqil (mandiri, independen) adalah ulama yang telah memenuhi semua syarat-syarat di atas. Mereka punya otoritas untuk mengkaji hukum langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah, melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, dan menggunakan methode yang dirumuskan sendiri dalam berijtihad tanpa mengekor kepada mujtahid lain. Pendapatnya kemudian disebarluaskan kepada masyarakat. Termasuk dalam tingkatan ini adalah seluruh fuqoha dari kalangan shahabat, fuqoha dari kalangan tabi’in seperti Sa’id bin Musayyab dan Ibrahim an-Nakha’i, fuqoha mujtahid seperti Ja’far ash-Shadiq dan ayahnya, Muhammad al-Baqir, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad, Sufyan ats-Tsaury, dan Abu Tsaur. Namun yang madzhabnya tetap masyhur hingga kini adalah 4 Imam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

2. Mujtahid Muntasib.
Mujtahid Muntasib adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil/memilih pendapat-pendapat imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang, meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hampir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya. Termasuk dalam tingkatan ini seperti al-Muzani (dari madzhab Syafi’i) dan Abdurrahman ibnu Qosim (dari madzhab Maliki).

3. Mujtahid Madzhab.
Mujtahid Madzhab mengikuti imamnya dalam ushul maupun furu’ yang telah jadi. Peranan mereka sebatas melakukan istinbath hukum terhadap masalah-masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya. Mujtahid madzhab tidak berhaq berijtihad terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapannya di dalam madzhab yang dipegangnya, kecuali dalam lingkup terbatas. Menurut madzhab Maliki, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid madzhab.

4. Mujtahid Murajjih.
Mujtahid Murajjih hanya mentarjih (mengunggulkan dan menguatkan) diantara pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari imamnya dengan alat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid-mujtahid pada tingkatan-tingkatan di atasnya. Mereka mentarjih sebagian pendapat atas pendapat lain dalam madzhab yang dipegangnya karena dipandang lebih kuat dalilnya, atau karena sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat pada masa itu, atau karena alasan-alasan lain, namun tidak melakukan kegiatan istinbath baru yang independen. Ini adalah tingkatan paling rendah dalam Ijtihad.

Sumber : http://artikelislami.wordpress.com/2008/07/06/ijtihad-dan-mujtahid/

Pengertian Islam

Islam (Arab: al-islām, الإسلام "berserah diri kepada Tuhan") adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Dengan lebih dari satu seperempat miliar orang pengikut di seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen. Islam memiliki arti "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Arab: الله, Allāh). Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti "seorang yang tunduk kepada Tuhan", atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.

Kata Islam merupakan penyataan kata nama yang berasal dari akar triliteral s-l-m, dan didapat dari tatabahasa bahasa Arab Aslama, yaitu bermaksud "untuk menerima, menyerah atau tunduk." Dengan demikian, Islam berarti penerimaan dari dan penundukan kepada Tuhan, dan penganutnya harus menunjukkan ini dengan menyembah-Nya, menuruti perintah-Nya, dan menghindari politheisme. Perkataan ini memberikan beberapa maksud dari al-Qur’an. Dalam beberapa ayat, kualitas Islam sebagai kepercayaan ditegaskan: "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam..." Ayat lain menghubungkan Islām dan dīn (lazimnya diterjemahkan sebagai "agama"): "...Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." Namun masih ada yang lain yang menggambarkan Islam itu sebagai perbuatan kembali kepada Tuhan-lebih dari hanya penyataan pengesahan keimanan.

Secara etimologis kata Islam diturunkan dari akar kata yang sama dengan kata salām yang berarti “damai”. Kata 'Muslim' (sebutan bagi pemeluk agama Islam) juga berhubungan dengan kata Islām, kata tersebut berarti “orang yang berserah diri kepada Allah" dalam bahasa Indonesia.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Islam

Pembagian aqidah tauhid

Walaupun masalah qadha' dan qadar menjadi ajang perselisihan di kalangan umat Islam, tetapi Allah telah membukakan hati para hambaNya yang beriman, yaitu para Salaf Shalih yang mereka itu senantiasa menempuh jalan kebenaran dalam pemahaman dan pendapat. Menurut mereka qadha' dan qadar adalah termasuk rububiyah Allah atas makhlukNya. Maka masalah ini termasuk ke dalam salah satu di antara tiga macam tauhid menurut pembagian ulama:
  • Tauhid Al-Uluhiyyah,
    mengesakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya semata.
  • Tauhid Ar-Rububiyyah,
    mengesakan Allah dalam perbuatan-Nya, yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta ini.
  • Tauhid Al-Asma' was-Sifat,
    mengesakan Allah dalam asma dan sifat-Nya, artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah, dalam dzat, asma maupun sifat.
Iman kepada qadar adalah termasuk tauhid ar-rububiyah. Oleh karena itu Imam Ahmad berkata: "Qadar adalah kekuasaan Allah". Karena, tak syak lagi, qadar (takdir) termasuk qudrat dan kekuasaanNya yang menyeluruh. Di samping itu, qadar adalah rahasia Allah yang- tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis pada Lauh Mahfuzh dan tak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu takdir baik atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar.

Tauhid itu ada tiga macam, seperti yang tersebut di atas dan tidak ada istilah Tauhid Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah karena istilah ini adalah istilah yang baru. Apabila yang dimaksud dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah, maka hal ini sudah masuk ke dalam kandungan Tauhid Rububiyah. Apabila yang dikehendaki dengan hal ini adalah pelaksanaan hukum Allah di muka bumi, maka hal ini sudah masuk ke dalam Tauhid Uluhiyah, karena hukum itu milik Allah dan tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada Allah semata. Lihatlah firman Allah pada surat Yusuf ayat 40.

Defenisi Aqidah

Aqidah (Bahasa Arab: اَلْعَقِيْدَةُ) dalam istilah Islam yang berarti iman. Semua sistem kepercayaan atau keyakinan bisa dianggap sebagai salah satu aqidah.

Dalam bahasa Arab aqidah berasal dari kata al-'aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu (التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.

Sedangkan menurut istilah (terminologi): 'aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi, 'Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma' (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma' Salaf as-Shalih.

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Aqidah